Lestarikan Budaya, Berdayakan Ekonomi Desa

TANGAN Siti Hairiyah (42), telah menyulap tradisi tenun yang turun temurun tak hanya menjadi bagian tak hanya rutinitas melestarikan budaya. Tenun ini juga memberikan penghasilan kepada masyarakat sekitar.

Melestarikan budaya menjadi alasan bagi pembuatan kain mastais, kain tenun ikat khas Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Telah menjadi kebiasaan di kabupaten ini, setiap kaum ibu di tengah kesibukannya menjadikan menenun sebagai bagian kehidupan sehari-hari. 

Seperti perempuan Bima lainnya, Siti juga merasakan budaya turun temurun dalam keluarganya. Kebiasaan menenun berakar sejak perempuan ramah ini dimulai sejak ia di Sekolah Dasar. "Kelas IV, saya sudah mahir menenun," kata Siti dalam obrolannya dengan VIVAnews, di Jakarta beberapa waktu lalu. 

Kecintaannya terhadap tenun ikat asalnya semakin berkembang. Sebab, tak hanya sekedar tenunan, di dalamnya terkandung filosofi dan budaya. 

Simbol warna yang ada pada tenun ikat Bima antara lain warna merah yang melambangkan keberanian orang Bima, ungu tua dicampur merah muda diartikan sebagai pengendalian diri dan kecerdasan. Kuning dan hijau sebagai kesadaran kesehatan, simbol religius dan kesuksesan. Serta hitam dan biru tua menyimbolkan raja dari kesultanan Bima. 

Setelah bertahun-tahun bergelut sebagai penenun, Siti berpikir suatu saat kain mastais khas Bima tak akan mampu bersaing dengan kain yang lebih modern. Apalagi para perempuan menjalankan usahanya sendiri-sendiri, sehingga ukuran harga tak sesuai dengan modal pembuatan. "Saya berpikir, saya perlu menghimpun kaum ibu mempertahankan kelangsungan kain ini," katanya. 

Perjalanan ini dimulai sejak 1995. Perempuan berkulit sawo matang ini mulai dengan mendirikan tenun lampa sama. Ia mengumpulkan sebagian kain hasil produksinya dan produksi perempuan di daerah sekitarnya. 

Awalnya, ia merogoh koceknya sendiri untuk membeli kain dari perajin lainnya, namun lama kelamaan para ibu itulah yang menitipkan barang tenunannya ke perempuan yang sempat mengeyam pendidikan hingga menengah atas ini.

Pakai Uang Palsu Beli Narkoba dan Punya Senpi Rakitan, Pecatan TNI AL di Lampung Ditangkap

Satu lembar kain mastais sepanjang empat meter untuk benang dan motif sehari-hari, Siti menerangkan, membutuhkan waktu selama lima hari. Harganya juga masih terjangkau sebesar 200-500 ribu perlembar. Tetapi lain halnya dengan kain mastais yang bersulam benang emas. waktu pengerjaannya bisa menghabiskan waktu 6-7 bulan. 

"Makanya, untuk kain yang berasal dari emas harganya bisa mencapai jutaan rupiah," ujarnya. Dari sekian banyak corak kain mastais, corak bunga satakao adalah bentuk larangan bagi muslim memuja berhala. Ini menjadi bagian Islamisasi di Bima, ratusan tahun lalu.

Dari kelompok usaha yang tergabung dalam sebuah koperasi, sebanyak 30 orang anggota menghasilkan 150 lembar kain mastais beraneka ragam. Hasil penjualan kain mastais, dalam sebulan bisa mencapai Rp 7 juta. Bermula dari 30 anggota, kini telah memiliki 270 anggota dengan tujuh sentra binaan. 

Selisih harga antara kain tenun tradisional dan tenun mesin, membuat anggotanya memilih tetap bertahan pada tenun tradisional. Namun, kain tenun ikat buatan mesin lebih kuat dan tahan lama. Ini yang dikhawatirkan Siti. Apalagi, hasilnya juga lebih rapih.

Agar dapat bersaing, ia merencanakan perluasan usaha. Industri kecil yang menjadi binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bima akhirnya menemukan pemecahan.

Kini, selain memproduksi kain mastais dalam bentuk aslinya, tenun lampa juga memodifikasi kain tenun menjadi berbagai bentuk pakaian ada daerah NTB. Pakaian etnik hingga aksesoris. 

Baju adat pengantin NTB ia memodifikasi dari kain mastais menjadi setelan pernikahan. Produk tas, taplak meja, dan hiasan dinding berhias motif mastais Bima lahir dari kreasi ibu tiga anak ini. Sisa-sisa kain ia gabung-gabungkan untuk menciptakan model yang sangat unik. "Harganya cukup murah, ada yang Rp 60 ribu."

Hasil kreasinya mereguk perhatian dari pelanggan. Banyak yang tertarik, tetapi banyak juga yang lebih menyukai bentuk aslinya. "Kami membiarkan pembeli memilih, mau yang dalam bentuk kain atau pakaian," ujarnya. Biasanya, wisatawan asing menyukai bentuk asli, sedangkan wisatawan domestik menyukai kain dimodifikasi.

Pemasaran produk kain mastais kini merambah pasar di Kabupaten Dompu, Sila, hingga Jakarta. Sulit memenuhi permintaan konsumen justru karena kekurangan modal. Biasanya modal dipakai memberi benang dan pewarna. Ke depan, Siti berharap kain mastais khas Bima tetap bertahan dan dapat memperluas pemasaran hingga ke luar negeri.

Kemenag Gelar Peringatan Nuzulul Qur'an Nasional Tahun 2024

Peringatan Nuzulul Qur'an Tingkat Nasional, Kemenag: Spirit Bawa Indonesia Menjaga Keragaman

Peringatan Nuzulul Qur'an tingkat nasional, digelar oleh Kementerian Agama atau Kemenag. Pada tahun 2024 ini, digelar di Auditorium HM Rasjidi Kemenag, pada Rabu kemarin.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024