Illian Deta Arta Sari

Upaya Jerumuskan Mahkamah Agung

Meski menimbulkan polemik di tengah masyarakat, Panitia Kerja Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (Panja Komisi III DPR) tetap sepakat mempertahankan usulan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA). Kesepakatan soal usia pensiun diambil dalam Rapat Panja RUU MA pada tanggal 2 Desember 2008 lalu.

Pertimbangannya, hakim agung pada usia 70 tahun masih fungsional. Dari semua fraksi di DPR, hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR yang mengajukan nota keberatan. Direncanakan RUU MA ini akan disahkan pada Sidang Paripurna DPR 17 Desember 2008 nanti.

Cetak Biru MA

Upaya Pemerintah dan juga DPR dalam mendorong perpanjangan pensiun hakim agung hingga 70 tahun jelas menyimpang (dan bahkan mengabaikan) Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung yang ditandatanganinya Bagir Manan pada 5 Agustus 2003 lalu.

Pada Bab V tentang Sumber Daya Manusia, khususnya yang membicarakan mengenai Masa Jabatan, merekomendasikan 2 (dua) hal yaitu pertama, MA perlu mendorong DPR dan Presiden untuk segera mengundangkan UU MA yang baru untuk antara lain mengatur bahwa usia pensiun Hakim Agung tetap 65 tahun namun dapat dimungkinkan adanya perpanjangan masa jabatan sampai dengan usia 67-68 tahun selama ia masih dianggap mampu dan layak. Penentuan mengenai perpanjangan tersebut dilakukan oleh Komisi Yudisial dan DPR (melalui proses seperti dalam pemilihan Hakim Agung). Kedua, mengingat prinsip nonretroaktif dan menyelaraskan dengan semangat Perubahan Ketiga UUD 1945, maka pengaturan mengenai kemungkinan perpanjangan usia pensiun ini hanya berlaku bagi Hakim Agung yang terpilih pada masa setelah UU MA yang baru tersebut nantinya diundangkan .

Faktanya rekomendasi ini ditindaklanjuti DPR dan Presiden dengan mengesahkan UU MA yang baru (UU No 5 Tahun 2004 dan disahkan pada 15 Januari 2004) yang salah satu ketentuannya memungkinkan adanya perpanjangan masa jabatan hakim agung sampai dengan usia 67 tahun (pasal 11). Fakta pula Ketua MA pada waktu itu, Bagir Manan, melakukan penyimpangan dari rekomendasi cetak biru tersebut dengan tidak melibatkan Komisi Yudisial dan DPR dalam menentukan layak tidaknya seorang Hakim Agung  dan memperpanjang dirinya sebagai hakim agung. Padahal cetak biru jelas menyebutkan perpanjangan ini ditujukan terhadap hakim agung yang dipilih setelah UU disahkan. Dan terakhir, para hakim agung ini meminta penambahan perpanjangan masa pensiun hingga 70 tahun.

Hal penting lain yang perlu dicermati karena saat mencapai usia 67 tahun yang berlaku adalah UU MA tahun 2004, maka semua upaya untuk memperpanjang jabatan Bagir Manan sebagai Ketua MA (termasuk pula jika Presiden melakukannya) adalah tindakan melanggar hukum.

Langkah Mundur

Penetapan usia pensiun hakim agung 70 tahun, hal ini tidak saja mengecewakan namun juga tidak masuk akal dan langkah mundur bagi upaya reformasi dan regenerasi di MA. Penetapan ini sudah selayaknya ditolak dengan beberapa alasan.

Pertama, angka harapan hidup dan tingkat kesehatan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se-ASEAN yaitu 65 tahun. Tahun 2006 angkanya naik menjadi 66,2 tahun. Artinya di atas usia 66 tahun, kondisi orang Indonesia menurun karena dipengaruhi banyak hal.

Kedua, usia 70 tahun tergolong usia tidak produktif. Menurut BPS, usia penduduk dikelompokkan menjadi 3 yaitu belum produktif (0-14 tahun), produktif (15-65) dan tidak produktif 66 ke atas. Berdasarkan kategorisasi itu, jelas bahwa hakim agung dengan usia 70 tahun termasuk yang tidak produktif.

Dihubungkan dengan beban perkara MA saat ini, usia hakim agung yang terlalu tua tentu akan sangat menghambat proses percepatan reformasi MA dari pengurangan tumpukan perkara di MA yang masuk hampir mencapai 20 ribu perkara. Dengan beban kerja menyelesaikan tunggakan perkara di MA yang berat dan menyangkut, nasib masyarakat luas, tentu usia pensiun 65-67 tahun pun sudah merupakan usia sangat maksimal.
 
Ketiga, perbandingan dengan profesi atau lembaga lainnya. Alasan penetapan usia pensiun 70 tahun tidak jelas, dan lebih tinggi dibanding sejumlah jabatan publik lainnya. Misalnya untuk Hakim Mahkamah Konstitusi usia pensiunnya adalah 67 tahun,  usia pensiun polisi dan  jaksa adalah 58-60 tahun, dan usia pensiun Pegawai Negeri Sipil hanya 56 tahun.  

Keempat, tidak adil membandingkan hakim agung di Indonesia dengan Amerika Serikat dan Inggris hanya melihat pada faktor usia, tanpa melihat kecakapan intelektual dan kematangan budaya masyarakat setempat serta kepecayaan publik terhadap institusi pengadilan. Dalam konteks Indonesia keinginan memperpanjang usia pensiun hakim agung menjadi persoalan ketika realitas sosiologis tidak mendukung.

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan di Indonesia sangat rendah. Pengadilan di Indonesia masih dinilai belum bersih dari korupsi dan intervensi politik atau kepentingan tertentu. Selain itu berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008, peradilan Indonesia disebut sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal ini terlihat dari 12 negara yang disurvei, ternyata Indonesia menduduki peringkat ke-12 dengan skor 8,26.

Kelima, menghambat regenerasi. Dalam kondisi semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi MA dan maka yang perlu dilakukan adalah perombakan dan munculnya generasi baru hakim agung. Dengan cara itu, barangkali publik masih punya harapan akan hadirnya kekuasaan kehakiman yang bersih dan terbebas dari kooptasi kepentingan apapun. Dengan kata lain, hal ini akan menghilangkan hak dari hakim-hakim muda progresif untuk bisa menjadi Hakim Agung. Lebih dari itu, kebijakan ini sama artinya, tetap membiarkan mafia peradilan dan segala kompleksitas masalah di MA terus berjalan, bahkan memperkuat dirinya.

Keenam, delegitimasi kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam melakukan seleksi calon hakim agung. Bila usia diperpanjang menjadi 70 tahun, tentu hingga 3-5 tahun mendatang KY tidak melakukan seleksi hakim agung. Atau, pantas publik khawatir, rencana perpanjangan usia pensiun ini berada di balik upaya memperpanjang masa jabatan Ketua MA saat ini, mengingat beberapa kali bahkan Bagir Manan telah mencoba memperpanjang usia pensiunnya sendiri.

Untungkan Elit

Penetapan usia pensiun hakim agung 70 tahun kenyataannya hanya akan menguntungkan sekelompok orang, namun membahayakan kepentingan pembaharuan di MA. Berangkat dari buruknya potret MA saat ini, DPR dan Pemerintah seharusnya tidak perlu mempertahankan status quo dan hakim-hakim ”usia senja” di MA. 

Usulan perpanjangan usia pensiun Hakim Agung saat ini juga tidak akan banyak manfaatnya, tidak sebanding dengan kerugian yang akan dihasilkan. Citra Mahkamah Agung, citra DPR dan partai-partai yang ada di dalamnya, serta citra Presiden akan tercoreng. Upaya reformasi peradilan yang telah berjalan selama 8 tahun tak akan ada nilainya di mata publik hanya karena alasan penambahan usia pensiun bagi hakim agung.

Penetapan usia pensiun 70 tahun bagi hakim hanya akan menunjukan arogansi kekuatan tua di MA dan persekongkolan elit Pemerintah bersama DPR ketimbang itikad untuk memberbaiki MA. Argumentasi yang mengatakan jika usia pensiun tidak dijadikan 70 tahun, maka akan berakibat stagnasi di MA pun, dinilai tidak berdasar. Memperhatikan data Komisi Yudisial, dari 48 hakim agung yang ada di MA saat ini, hanya 11 yang akan pensiun pada tahun 2009 jika usia pensiun tetap tunduk pada umur 67 tahun. Atau, sekitar 23% saja.

Oleh karena itu, pihak yang mendukung usia pensiun 70 tahun dapat dikategorikan pihak yang antiperubahan, pro dengan mafia peradilan, dan tidak punya itikad baik untuk mendorong pembersihan MA dan Peradilan Indonesia. MA saat ini membutuhkan perubahan dan kepercayaan dari masyarakat, bukan hakim jompo. Oleh karenanya proses reformasi di MA saat ini berada dipersimpangan jalan. Pilihannya menjadi lebih baik atau jauh lebih buruk.

ICW bersama dengan Koalisi LSM sejak awal mengusulkan usia pensiun hakim agung maksimal yaitu 67 tahun dan tanpa perpanjangan. Apabila DPR masih tetap memaksakan diri untuk tetap mengesahkan RUU MA dalam Rapat Paripurna pada tanggal 17 Desember 2008 nanti, dengan ini Kami menyatakan akan mengajukan permohonan uji formil terhadap UU MA yang disahkan tersebut kepada Mahkamah Konsitusi agar UU tersebut dapat dibatalkan.

Viral! 4 Pria Terkapar Dipukuli di Depan Polres Jakpus Dipicu Pengeroyokan Anggota TNI

Penulis adalah peneliti ICW

VIVA Militer: Tiga jenderal Marinir purna bhakti

3 Jenderal Hantu Laut Pamit Tinggalkan Marinir, Salah Satunya Intelijen Kakap TNI

Siapa saja ketiga jenderal itu?

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024