Denny Indrayana

Pro Kontra Sisminbakum

VIVAnews - Dugaan korupsi biaya akses sistem administrasi badan hukum atau Sisminbakum membuat rekanan proyek tersebut, PT Sarana Rekatama Dinamika, gerah. Tak cukup dengan pernyataan di media massa, PT Sarana Rekatama juga mengiklankan bantahan terkait dugaan korupsi itu.

Salah satu pembenaran yang dimunculkan PT Sarana Rekatama melalui iklannya di media massa cetak adalah pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang dikenakan pada Sisminbakum. "Dengan dipungutnya PPN atas akses fee sejak awal berdirinya Sisminbakum merupakan bukti bahwa Pemerintah mengakui akses fee bukan PNBP (pendapatan negara bukan pajak)," tulis pengacara PT Sarana Rekatama dalam iklan satu halaman di sebuah harian nasional edisi Senin, 9 Januari 2009.

Padahal, sebagai informasi awal, masyarakat harus mengerti bahwa Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan entitas yang berbeda dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Dua pendapatan negara ini tidak bisa disejajarkan karena memang diatur dalam undang-undang yang berbeda.

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN ditarik dari setiap transaksi yang dilakukan pihak swasta dan besarannya 10 persen. Misalnya, Anda membeli sebuah barang, itu pasti ada PPN.

Demikian pula dengan biaya akses Sisminbakum. Ada PPN yang harus dibayar. Tapi itu bukan beban PT Sarana Rekatama, melainkan beban pengakses pada saat mereka mengakses situs itu. PT Sarana Rekatama hanya sebagai fasilitor yang mengumpulkan PPN tersebut dan wajib menyerahkan ke kantor pajak.
 
Untuk perusahaan swasta murni, mereka dibebankan untuk membayar Pajak Penghasilan atau PPh. Setelah seluruh biaya terbayar, mulai dari gaji karyawan, kewajiban perjanjian dengan pemerintah, dan biaya lainnya, perusahaan swasta diwajibkan membawar 35 persen dari keuntungan bersih ke kantor pajak berupa PPh tadi.

Di mana PNBP? Dalam kerja sama swasta dan Pemerintah, kewajiban yang satu ini dibebankan kepada instansi Pemerintah. Dalam konteks kasus Sisminbakum, instansi itu adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setiap kerja sama Pemerintah dan swasta yang menyertakan pungutan dari masyarakat hampir dipastikan ada PNBP.

Dalam kerja sama swasta dan Pemerintah tersebut diatur soal pembagian uang yang menjadi milik masing-masing pihak. Misalnya, 50-50. Maka, dari dana yang masuk ke Pemerintah itu harus dikenai PNBP. Berapa besaran PNPB itu akan ditentukan kemudian.

Dalam kasus Sisminbakum, perjanjiannya 90 persen untuk swasta dan 10 persen untuk Depkumham. Pembagian ini sama sekali tidak proposional. Karena pihak swasta, yakni PT Sarana Rekatama, mendapat bagian yang terlalu besar.

Menurut saya, perlu pengusutan lebih lanjut khusus untuk kerja sama tersebut. Ini perjanjian yang sangat janggal dan bisa dipersoalkan. Kenapa pemerintah bisa menyetujui jumlah yang besar sekali itu.

Dari penjelasan itu, uang yang ditarik dari sebuah produk jasa atau pun barang bisa saja dikenai ketiga pendapatan itu. Namun, dana itu ditarik dari berbagai pihak yang terlibat dalam sebuah proyek tersebut. Sehingga, menurut saya, iklan bantahan PT Sarana Rekatama Dinamika itu keliru.

Prinsipnya, kerja sama antara Pemerintah dan swasta adalah sah saja, selama tidak ada komisi untuk instansi pemerintah yang bekerja sama, baik uang feedback untuk pejabat negara di instansi itu, dan uang succes fee. Untuk kasus Sisminbakum, Kejaksaan Agung harus mengusut bagian Pemerintah yang 10 persen itu. Ke mana larinya.

Sebab, komisi itu haram hukumnya dalam sebuah kerja sama antara pemerintah dan swasta yang melibatkan uang masyarakat. Pejabat itu sudah mendapat gaji, tunjangan kerja, fasilitas, masa masih mau lagi komisi dari proyek-proyek kerja sama. Wartawan saja tidak boleh menerima komisi, konon pula pejabat pemerintah.

Superchallenge Supermoto Race 2024 Segera Dimulai, Yogyakarta Tuan Rumah Seri Perdana

Disarikan dari wawancara Denny Indrayana, penasihat Presiden bidang hukum.

Presiden Direktur P&G Indonesia Saranathan Ramaswamy

Presiden Direktur P&G Indonesia Sebut Prospek Masa Depan Indonesia Cerah 

Presiden Direktur Procter and Gamble (P&G) Indonesia, Saranathan Ramaswamy menilai, Indonesia memiliki prospek bisnis yang cerah di masa depan.

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024