Dugaan Korupsi PT Kereta Api

PT Kereta Api Indonesia pada 2005 melakukan transaksi penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai, yakni besi tua kelas super, tembaga, dan kuningan seberat 3.995.753 kilogram kepada Yayasan Pusaka. Yayasan ini merupakan yayasan yang berdiri di lingkungan PT KAI.

Kerjasama tersebut melalui penandatanganan kontrak perjanjian jual beli persediaan tidak terpakai nomor 45/HK/KU/2005. Untuk nilai kontrak diatas, PT KAI sepakat untuk menjual perkg besi tua kelas super dengan berat 3.980.392,53 dengan harga Rp 1.225 per kilogram. Untuk tembaga, dihargai Rp 16.060 per kilogram, dan untuk kuningan disepakati harga Rp 7.250 per kilogram.

Pada tahun 2006, PT KAI kembali melakukan kerjasama jual beli persediaan tidak terpakai dan barang bekas berupa besi tua dengan Yayasan Pusaka melalui kontrak nomor HK.213/VI/1/KA-2006. Nilai kontrak adalah Rp 852,50 perkg untuk jumlah keseluruhan barang mencapai 13.169.921 kg.

Dalam realisasinya, baik untuk kontrak tahun 2005 maupun tahun 2006 terjadi permasalahan, yakni tidak semua barang dapat diserahkan oleh PT KAI kepada Yayasan Pusaka sehingga terjadi penyesuaian. Masalah tersebut dapat diketahui dari rapat pembahasan oleh Direksi PT KAI pada tahun 2007, tepatnya pada Selasa, 14 Agustus 2007.

Masalah yang muncul dalam kedua kontrak tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, untuk kontrak pada tahun 2005 (Nomor 45/HK/KU/2005) yang ditandangani oleh Kasubdit Sediaan atas surat kuasa Direktur PT KAI dengan PYMT Ketua Dewan Pimpinan Harian Yayasan Pusaka diketahui bahwa pelaksanaan penyerahan barang tidak sesuai dengan perjanjian. Hal ini karena terdapat perintah dari Kepala SPI No. SPI/1/172/VII/2005 tanggal 22 Juli 2005 yang meminta penyerahan barang dihentikan terlebih dahulu. Atas perintah tersebut, realisasi volume penyerahan barang tidak seluruhnya dapat dipenuhi sebagaimana tertera dalam kontrak.

Kedua, untuk pelaksanaan pembayaran kontrak diatas, dengan nilai transaksi sesuai realisasi sebesar Rp 2.801.136.570,00 baru dibayarkan oleh Yayasan Pusaka sebesar Rp 1.222.800.845,00 sehingga masih ada kekurangan pembayaran sebesar Rp 1.578.335.725.

Demikian halnya untuk kontrak pada tahun 2006, terjadi dua permasalahan yang sama dengan kontrak pada tahun 2005, yakni pelaksanaan penyerahan barang tidak sesuai dengan nilai kontrak. PT KAI hanya bisa menyerahkan barang sebesar 8.015.447 kg dari nilai kontrak sebesar 13.169.921 kg sehingga terdapat kekurangan sebesar 5.154.474 kg.

Masalah lainnya adalah pelaksanaan pembayaran terdapat kelebihan pembayaran sebesar dari Yayasan Pusaka kepada PT KAI sebesar Rp 520.070.182,00.


Analisis Masalah

Indikasi Pelanggaran Hukum


1. Penunjukan langsung
Sebagaimana diketahui, untuk melakukan pengalihan aktiva tetap di lingkungan BUMN, terdapat beberapa aturan main yang menjadi dasar yuridis. Aturan tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan No 89/KMK.013/1991 tentang Pedoman Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara yang ditegaskan kembali melalui Instruksi Menteri Badan Usaha Milih Negara Nomor: 01-MBUMN/2002 tentang Pedoman Kebijakan Pelepasan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara.

Dalam Instruksi Menteri BUMN Nomor 01-MBUMN/2002, disebutkan bahwa pelepasan aktiva tetap pada dasarnya harus memberi nilai tambah bagi perusahaan setara dengan nilai yang dapat diperoleh apabila aktiva tetap yang bersangkutan dilepas di pasar dengan harga pasar dan pembayaran secara tunai.

Ditambahkan dalam lampiran Instruksi tersebut, bahwa untuk mendapatkan calon pembeli yang lebih banyak serta meningkatkan nilai jual dan pelaksanaan penjualan yang lebih transparan, maka diperlukan jasa Balai Lelang Swasta dalam rangka melaksanakan tugas pra lelang. Instruksi Meneg BUMN juga memberikan mekanisme pelepasan aktiva tetap melalui prosedur lelang di Kantor Lelang Negara.

Demikian juga, dalam Keputusan Menteri Keuangan No 89/KMK.013/1991 dinyatakan dalam pasal 12 ayat (1) bahwa penjualan aktiva tetap BUMN yang telah memperoleh persetujuan dari Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dilakukan oleh Direksi dengan prosedur lelang melalui Kantor Lelang Negara.

Dalam kontrak PT KAI dengan Yayasan Pusaka, baik untuk tahun 2005 dan tahun 2006 seluruhnya dilakukan melalui penunjukan langsung. Meskipun terdapat surat dari Dewan Komisaris No 208/DEKOM/IV/2005 tanggal 1 April 2005 perihal persetujuan Penunjukan Langsung kepada Yayasan Pusaka, akan tetapi mekanisme penunjukan langsung telah melanggar kedua aturan hukum diatas. PT KAI tidak melaksanakan prosedur pelelangan, baik melalui Kantor Lelang Negara maupun Balai Lelang Swasta sehingga potensi untuk memperoleh harga yang wajar dan pembeli yang lebih banyak menjadi hilang.

Sebenarnya Instruksi Meneg BUMN No 01-MBUMN/2002 memberikan pengecualian diluar mekanisme lelang. Namun syaratnya adalah harus mendapatkan persetujuan dari Menteri BUMN dengan dasar pertimbangan bahwa penyebaran aktiva dan nilai aktiva yang tidak signifikan. Akan tetapi dalam realisasinya, Direksi PT KAI hanya meminta adanya penghapusbukuan terhadap aktiva tidak produktif di PT KAI sebagaimana telah disetujui oleh Asisten Deputi Urusan Informasi dan Administrasi Kekayaan BUMN No.S-142/S.MBU/2005 tanggal 11 April 2005, bukan untuk mengajukan permohonan persetujuan penunjukan langsung.

2. Yayasan Pusaka dilihat dari sisi likuiditas keuangannya sangat meragukan. Meskipun dalam kontrak tahun 2005 dan tahun 2006 Yayasan Pusaka menyatakan sanggup mengerjakan proyek tersebut, akan tetapi dalam realisasinya terdapat banyak masalah. Sesuai dengan klarifikasi yang dilakukan BPKP pada 28 Agustus 2007, diketahui kemudian bahwa Yayasan Pusaka dalam pelaksanaan proyek sekaligus sebagai pihak pembeli telah memberikan kuasa substitusi kepada PT Asbo Citra Mandiri.

Alasan pengalihan kontrak adalah karena Yayasan Pusaka sebenarnya tidak memiliki tenaga dan dana yang memadai untuk melaksanakan proyek tersebut. Akibat dari pengalihan kontrak tersebut, Yayasan Pusaka hanya menerima fee kontrak sebesar Rp 100,00/kg dari keseluruhan barang yang diperjual-belikan.

Pemilihan Yayasan Pusaka sebagai rekanan PT KAI dalam jual beli besi tua juga menjadi penuh dengan konflik kepentingan karena secara de facto, Direksi PT KAI adalah Pimpinan Yayasan Pusaka. Akibatnya, Direksi PT KAI tidak dapat memutuskan atau mengambil kebijakan yang objektif. Hal ini dibuktikan dari adanya persetujuan Direksi PT KAI atas rencana pengalihan kontrak Yayasan Pusaka kepada PT Asbo Citra Mandiri.


Indikasi Kerugian Negara

Indikasi kerugian negara dalam kasus jual beli besi tua antara PT KAI dengan Yayasan Pusaka cq. PT Asbo Citra Mandiri dapat ditemukan dari rendahnya penentuan harga kontrak. Hal ini disebabkan oleh tiadanya mekanisme lelang dalam penjualan besi tua sehingga harga penjualan sangat ditentukan oleh Panitia Penaksir Harga. Sebenarnya dalam Kepmenkeu No 89/1991 dimungkinkan adanya perusahaan penilai independen yang ditunjuk oleh Direksi PT KAI atas persetujuan Menkeu untuk menilai harga wajar barang yang akan dihapusbukukan. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan oleh PT KAI.

Dengan membandingkan harga wajar besi tua di pasaran dengan realisasi penjualan PT KAI dengan Yayasan Pusaka, dapat dihitung indikasi kerugian negara yang cukup besar, sebagai berikut:

1. Kontrak Nomor 45/HK/KU/2005
Kontrak ini tidak sepenuhnya berjalan. Dari catatan PT KAI sebagaimana tercantum dalam bahan rapat Direksi PT KAI pada agustus 2007, diketahui bahwa realisasi dari berat besi tua sesuai kontrak mencapai 3.980.392,53 kg hanya mencapai 2.088.855 kg. Untuk menghitung indikasi kerugian negara, digunakan total barang yang sudah direalisasi, yakni 2.088.855 kg. Sesuai dengan kontrak, harga jual besi tua per/kg adalah Rp 1.225,00.

Mengacu pada harga pasar pada tahun 2005, untuk besi tua kelas super per/kg mencapai Rp 4.500,00. Ini artinya, terdapat selisih harga jual antara realisasi kontrak dengan harga pasar sebesar Rp 3.275,00/kg. Dengan jumlah barang yang telah direalisasikan sebesar 2.088.855 kg, maka seharusnya PT KAI bisa mendapatkan dana tambahan dari penjualan itu sebesar Rp 6.841.000.125,00 (terbilang: enam milyar delapan ratus empat puluh satu juta seratus dua puluh lima rupiah). Nilai inilah yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara.

2. Kontrak Nomor 213/VI/VI/1/KA-2006
Sebagaimana dengan kontrak pada tahun 2005, kontrak ini tidak sepenuhnya berjalan. Berat besi tua yang diperjualbelikan sesuai kontrak adalah 13.169.921 kg ternyata hanya bisa direalisasikan sebesar 8.015.447 kg dengan harga per/kg Rp 852,50. Dengan mengacu pada realisasi berat dan harga kontrak, maka PT KAI hanya mendapatkan dana sebesar Rp 6.833.168.568,00.

Jika PT KAI mengadakan lelang atas barang tersebut, dengan menggunakan taksiran harga pasar yang wajar untuk besi tua per/kg-nya, maka PT KAI seharusnya dapat memperoleh dana segar yang jauh lebih besar. Hitung-hitungannya sederhana, jika PT KAI menggunakan harga Rp 4.500,00/kg, untuk besi tua seberat 8.015.447 kg, maka PT KAI bisa mendapatkan dana segar sebesar Rp 36.069.511.500,00. Dengan mendasarkan perhitungan pada harga wajar, bisa dikatakan bahwa indikasi kerugian negara yang diderita oleh PT KAI dalam kontrak jual-beli besi tua pada tahun 2006 mencapai Rp 29.236.342.932,00 (dua puluh sembilan milyar dua ratus tiga puluh enam juta tiga ratus empat puluh dua ribu sembilan ratus tiga puluh dua rupiah).

Indikasi kerugian negara ini belum termasuk indikasi kerugian negara dalam penjualan tembaga dan kuningan. Untuk harga tembaga bekas perkg sesuai dengan harga pasaran mencapai Rp 40.000,00. Sedangkan PT KAI hanya menjual Rp 16.060,00 untuk total 14.147,25 kg kepada Yayasan Pusaka. Demikian halnya untuk kuningan yang pada tahun tersebut bisa mencapai harga Rp 25.000,00, sementara PT KAI hanya menjual dengan harga Rp 7.250,00.

Jika PT KAI memilih untuk menunjuk langsung Yayasan Pusaka sebagai pembeli dengan dalih bahwa yang akan diuntungkan adalah lingkungan PT KAI, hal ini faktanya tidak dapat direalisasikan karena proyek tersebut dikuasakan secara substitusi kepada PT Asbo Citra Mandiri. Dengan demikian, indikasi kerugian tidak hanya diderita dalam konteks keuangan negara, melainkan juga kerugian bagi lingkungan PT KAI.

Ini Dia Keju Paling Berbahaya di Dunia, Sekali Makan Bikin Muntah Hingga Diare Berdarah

Pelapor: Indonesia Corruption Watch
Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan
Telp: 021-7901885, 021-7994005
http://www.antikorupsi.org

Wuling Starlight

Sedan Listrik Wuling Sudah Bisa Dipesan, Harganya Rp200 Jutaan

Wuling resmi membuka pre-sale untuk model listrik murni Starlight mereka di China, pada 11 April 2024 kemarin. Tersedia dalam dua versi, Starlight Pure Electric dibandero

img_title
VIVA.co.id
12 April 2024